Band rock slengean asal Cikampek, Javanese Cat, kembali dengan gebrakan baru lewat single “Deteriorasi.” Setelah sebelumnya sempat melunak lewat kolaborasi pop bersama Ranggart di lagu “Hal yang Sama,” trio bengal Ray, Carlos, dan Abay kini meledakkan kembali sisi paling liar mereka — kali ini dengan kemarahan yang diarahkan pada isu serius: kerusakan lingkungan dan pemanasan global.
“Di lagu ini gue emang pengen ngumpat,” kata sang frontman Ray Cornell.
“Ini tuh bumi atau neraka sih ya?! Kok panas banget sih anj*ng! Tapi marah-marah aja nggak cukup, kita juga harus sadar dan mulai ngerawat bumi,” tambah Abay.
“Deteriorasi” bercerita tentang keresahan manusia terhadap bumi yang makin rusak akibat keserakahan dan ketidakpedulian manusia sendiri. Secara harfiah, deteriorasi berarti kemerosotan atau penurunan kualitas — kondisi yang kini nyata terasa di planet kita.
Lagu ini menjadi bagian dari kampanye yang kerap dibawakan Javanese Cat dalam berbagai panggung gigs dan kolaborasi mereka dengan gerakan Greenpeace, sebagai bentuk ajakan agar manusia sadar akan tanggung jawabnya terhadap alam.
Secara musikal, Deteriorasi menampilkan kombinasi riff berat dan tempo cepat prestissimo yang mengingatkan pada era awal heavy metal seperti Iron Maiden, Judas Priest, dan Deep Purple. Namun, Javanese Cat tetap menanamkan esensi grunge dan cengkok Melayu yang menjadi ciri khas mereka.
Vokal tinggi Ray Cornell dengan teknik pernapasan diafragma memberikan warna unik — keras, eksperimental, tapi tetap terdengar macho.
“Deteriorasi” akan menjadi pemantik untuk album penuh terbaru “Paripurna” yang dijadwalkan rilis pertengahan tahun ini. Sebelumnya, Javanese Cat telah merilis 10 single, 1 EP, dan 2 album penuh, termasuk album debut “The Best of the Beast” (2021) dan rilisan pertama mereka “Idealis” (2019).
Tentang Javanese Cat
Terbentuk pada medio 2018, Javanese Cat dikenal sebagai band multitalenta dengan karakter unik: perpaduan antara grunge liar, rock klasik 70-an, dan sentuhan jazz serta bossa nova.
Musik mereka sering disebut sebagai pertemuan antara 90s alternative dan 70s hard rock, dengan setiap rilisan menghadirkan gaya yang berbeda namun tetap memiliki “sonic blueprint” khas Javanese Cat.
“Kami nggak mau terjebak dalam satu formula. Tiap lagu punya nyawa sendiri, tapi tetap terdengar kayak kami,” ujar Ray Cornell.



















