Problem Ekosistem Musik

Ekosistem Musik saat ini  sangat kompleks dan memiliki banyak problem di dalamnya. Hal ini dikarenakan membutuhkan kombinasi dari pihak-pihak lain secara terorganisir. Beberapa alasan masalah yang terjadi di dalam ekosistem musik:

 

Ekosistem musik di surabaya masih dipegang oleh perusahaan rokok.

seperti Sampoerna, Djarum, dll. Perusahaan rokok ini pasti memiliki target key performance indocator (KPI) untuk mendatangkan banyak penonton dan lebih menekankan aspek promosi dan marketing brand mereka melalui aktivasi kegiatan musik. Sehingga konserpun dibuat gratis dan hanya mengandalkan band-band besar yang sudah terkenal. Hal ini tentu saja berdampak pada tingkat apresiasi dan regenerasi band karena minimnya ruang-ruang untuk band baru. Atau band baru-baru ini perlu berkompetisi dengan beberapa band yang sudah terkenal agar bisa mendekat pada perusahaan rokok.

 

Baca Juga: 4 tahapan dalam membuat lagu-radioplay

 

Banyaknya Event Organizer (EO) dari Ibukota Jakarta yang melakukan konser di Surabaya.

Hal ini juga kurang lebih sama dengan perusahaan rokok diatas. Mereka memiliki target KPI yang sama, yaitu mendatangkan banyak penonton dan mendapatkan profit yang besar. Hal ini berdampak pada musisi lokal Surabaya karena EO dari Jakarta tersebut sudah memiliki talent yang mereka bawa dari Ibukota sendiri. Lagi-lagi minimnya ruang untuk band lokal Surabaya yang tidak berdaya dengan program seperti ini. Mereka mau tidak mau harus mempunyai ‘orang dalam’ di dalam EO tersebut agar memiliki ruang.

 

Brand lokal melakukan dukungan ‘seadanya’ terhadap ekosistem musik.

Namun dukungan ini masih sebatas promosi dan pemasaran produk mereka. Beberapa cara dukungan biasanya berupa ‘voucher gratis’, produk gratis, atau memberikan sejumlah dana untuk pertunjukan musik. Sekali lagi aspek musik oleh brand lokal lebih kepada promosi brand atau produk melalui kegiatan komunitas musik. Jadi dukungan ini bukan untuk jangka Panjang terhadap ekosistem musik.

 

Tidak banyaknya inisiator/innovator.

Dalam bidang music-entrepreneurship, promotor musik, event organizer, label rekaman, management artis, dan media musik yang professional. Mengakibatkan minimnya inisiasi dan pengetahuan bisnis musik yang relevan dengan kebutuhan industri musik saat ini. Sehingga memunculkan kekhawatiran seperti; kompetisi harga antar musisi, mahalnya izin acara musik, dan mahalnya produksi acara musik.pada akhirnya pelaku komunitas musik bekerja sama dengan perusahaan rokok yang memiliki kemampuan dana sangat besar untuk kegiatan musik.

 

Venue musik dan infrastruktur.

Tak banyak venue musik yang betul-betul representative dan memiliki komitmen dalam pengembangan ekosistem musik. Agar ekosistem musik tidak mati, semua venue musik dari skala kecil (pub, bar, kafe, dan kedai kopi), skala menengah (auditorium hall, Gedung olahraga, Gedung kesenian, dan ruang komunitas), dan skala besar (lapangan public, dan stadion) mesti hidup dan berjalan terus-menerus. Masalah ini muncul dari segi ekonomi dan social. Dari segi ekonomi, venue musik masih banyak yang belum memiliki bisnis model ideal dalam menjalankan pengelolaannya. Bahkan yang menjadi masalh utama dari venue musik adalah biaya sewa. Sedangkan dari segi social beberapa venue musik terpaksa tutup karena persoalaan dengan warga sekitar, seperti tawuran, gaduh, kerusuhan, dan konflik dengan warga sekitar.

 

Relasi berpower yang tidak seimbang antara komunitas atau pelaku musik dengan korporasi atau pemerintah.

Dalam penyelenggaraan kegiatan musik muncul ketergantungan akan pihak korporat (terutama perusahaan rokok). Hal ini menjadi sebuah “perpanjangan tangan korporasi” dalam ekosistem musik tersebut. Pendukung sector ekosistem musik seperti label rekaman, promotor, event organizer, booking agent, festival musik, dan media masuk adalah penggerang komunitas musik yang paling kuat. Mereka memiliki nilai tawar kepada pihak sponsor karena berbagai inisiasi dan inovasi terkait musik yang mereka ciptakan. Sehingga relasi antara komunitas dengan korporat/pemerintah bersifat kemitraan, bukan perpanjangan tangan.

 

Belum adanya jaringan pendanaan baru yang bersumber dari pemanfaatan hibah dari pemerintah maupun Lembaga luar negeri.

Aspek pendanaan dan pendukung pasti membutuhkan Kerjasama antar stakeholder. Hadirnya Undang-Undang No. 5 tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan dan Undang0Undang Nomor 24 Tahun 2019 Tentang Ekonomi Kreatif seharusnya dialokasikan untuk skema hibah pemerintah. Bahkan komunitas pun perlu tahu bagaimana cara mengakses berbagai informasi skema hibah tersebut.